MODEL-MODEL ANALISA KONFLIK
Hampir setiap dari kita pernah
mengalami dan terlibat dalam sebuah konflik atau mungkin hanya berada pada
posisi sebagai orang yang sekedar menyaksikannya. Interaksi manusia sebagai
mahkluk sosial dalam realitasnya selain berupa kerjasama bisa saja berupa
konflik. Tulisan ini akan berupaya untuk memberikan gambaran tentang beberapa
cara untuk menganalisis sebuah konflik. Ada beberapa model analisa yang akan disajikan,
model-model analisa tersebut meliputi model Conflict Triangle, Pohon Konflik,
Onion Model, menganalisa Tahapan Konflik, serta model analisa yang diuraikan
oleh Paul Wehr. Model-model analisa tersebut akan membantu kita agar dapat
mengerti sebuah konflik secara lebih sistematis dan komprehensif. Berikut
penjelasan dari model-model analisa tersebut.
Dalam menganalisis sebuah konflik, Johan Galtung memberi penekanan pada aktor,
isu dan proses dari konflik tersebut. Galtung menyebutnya conflict triangle,
jadi, ketika sebuah konflik terjadi terlebih dahulu kita harus mengidentifikasi
siapa saja aktor yang terlibat di dalam konflik tersebut. Adalah penting untuk
menganalisa siapa sebenarnya aktor-aktor yang sedang berkonflik agar kita dapat
mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang aktor-aktor tersebut karena
akan sangat dibutuhkan untuk mengetahui hal-hal yang mempengaruhi aktor
sehingga bisa terlibat dalam sebuah konflik.
Setelah mengidentifikasi
aktornya, selanjutnya isu dan proses dalam konflik tersebut adalah juga wajib
dilakukan sebagai upaya bagi kita untuk mengerti sebuah konflik. Isu maksudnya
adalah hal-hal yang menjadi pokok bahasan dalam sebuah konflik, disini kita
akan mencari apa sebenarnya dipermasalahkan oleh masing-masing aktor sehingga
konflik ini bisa terjadi. Sedangkan proses adalah kita melihat bagaimana
tahapan-tahapan sebuah konflik sejak kapan dimulai dan bagaimana proses konflik
tersebut secara detail dari tiap tahapannya.
Cara menganalisa konflik
selanjutnya adalah dengan menggunakan analogi pohon konflik. Terkadang saat
melihat konflik, kita hanya memperhatikan apa yang terjadi atau Nampak
dipermukaan, misalnya konflik terbuka dan konflik dengan kekerasan. Yang kita
lihat itulah yang kemudiaan jadi bahan pertimbangan kita untuk menyelesaikan
konflik tersebut, walhasil penyelesaian konfliknyapun hanya bersifat taktis
untuk sekedar menghentikan atau meredakan kekerasan dalam konflik terbuka
tersebut.
Meredakan konflik dipermukaan
tentunya penting, tetapi tidak akan cukup apabila hanya berhenti disitu, karena
manajemen konfliknya belum menyentuh akar konflik. Dalam analogi pohon konflik
tersebut, bentuk konflik yang terbuka atau dengan kekerasan dianalogikan
sebagai batang dan daun yang tampak atau telah termanifesi. Analogi selanjutnya
adalah akar dari pohon konflik dibagi ke dalam dua hal, root causes dan
trigger. Root causes adalah penyebab konflik yang laten atau potensial
sedangkan trigger disini adalah pemicu atau hal-hal yang membuat konflik
tersebut akhirnya meledak menjadi konflik terbuka. Dinamika konflik kemudian
membuat penyebab dan pemicu konflik ini bisa berubah dan meluas, trigger
kemudian bisa menjadi root causes apabila konflik tersebut telah berlangsung
dalam kurun waktu yang cukup lama.
Dalam menganalisa sebuah
konflik, juga bisa dilakukan dengan menggunakan onion model. Model ini melihat
bahwa aktor yang terlibat dalam konflik dapat dilihat dari tiga lapis kulit
bawang yang jadi analogi tersebut. Lapis pertama adalah sikap aktor, sikap
disini dimaksudkan sebagai ekpresi yang ditunjukkan oleh aktor dalam merespon
konflik tersebut. Lapis kedua adalah posisi aktor, maksudnya adalah perspektif
aktor dalam konflik ini, disini bisa diketahui pilihan aktor terhadap hal yang
benar atau salah dalam konflik tersebut.
Selanjutnya pada Lapis ketiga
adalah kepentingan aktor, kepentingan ini berarti hal-hal yang diharapkan oleh
aktor yang mungkin berbenturan sehingga terjadilah konflik. Kepentingan ini
berada pada lapisan paling dalam juga bisa menjelaskan tentang motivasi dari
aktor-aktor yang sedang berkonflik tersebut. Ketiga lapisan tersebut, baik
sikap, posisi dan kepentingan tidak bisa begitu saja dijelaskan secara linear
bahwa sikap sudah pasti menjelaskan posisi dan posisi sudah pasti representasi
dari kepentingan. Karena aktor dapat menunjukkan sikap dan posisi yang berbeda
untuk mewujudkan kepentingannya.
Konflik juga dapat kita analisa
berdasarkan tahapan-tahapannya, titik awal tahapan konflik berawal dari akar
konfliknya atau latent causesnya. Dari sana akan nada beberapa peristiwa yang
membuat konflik tersebut mengalami eskalasi sampai kemudiaan berada pada
tahapan krisis. Pada tahapan krisis ini sebuah konflik butuh penanganan atau
solusi yang yang cepat dan apabila itu tidak ditemukan maka konflik ini akan
pecah menjadi konflik terbuka atau konflik dengan kekerasan. Tahapan ini
kemudiaan menjadi puncak dari tahapan konflik tersebut. Setelah mencapai
puncak, bagaimanapun konflik akan mengalami deeskalasi dan kemudiaan kembali
ketahapan awal yang tadi telah dijelaskan. Tahapan-tahapan di atas tidaklah
berlangsung dalam durasi yang sama, ada tahapan yang mungkin berlangsung dalam
waktu yang singkat atau bahkan sebaliknya, berlangsung dalam kurun waktu yang
panjang.
Tahapan konflik di atas
memberikan kita penjelasan tentang bagaimana seharusnya konflik di-manage.
Karena konflik terbuka merupakan akumulasi dari banyak peristiwa maka apabila
ditiap fase konflik itu dikelola dengan baik maka tidak akan sampai pada fase
konflik terbuka tau konflik dengan kekerasan. Begitu juga saat konflik terbuka
telah terjadi, maka dengan mengerti fase-fase di atas, kita akan mendapat
gambaran bagaimana cara untuk mempercepat deeskalasi konflik sehingga dapat
kembali pada posisi yang latent.
Analisa konflik selanjutnya
adalah model analisa yang ditawarkan oleh Paul Wehr. Wehr berpendapat bahwa
konflik dapat dijelaskan dengan melihat tiga hal, yakni konteks, pihak-pihak
yang terlibat, serta sebab dan dampak dari konflik tersebut. Konteks konflik
bisa dijelaskan sebagai kondisi yang melingkupi terjadinya konflik tersebut,
berarti untuk menganalisa konflik kita membutuhkan dan mengumpulkan sebanyak
mungkin informasi dan fakta sejarah yang terkait dengan konflik tersebut.
Berikutnya adalah parties atau
pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut. Pihak-pihak yang terlibat
dalam konflik ini bisa diklasifikasikan berdasarkan peran dan keterlibatan
mereka dalam sebuah konflik, baik langsung maupun tidak. Disini bisa kita
uraikan siapa pihak-pihak yang terlibat langsung dalam sebuah konflik atau siapa
pihak yang yang tidak secara langsung terlibat dalam konflik terbuka tetapi
berpengaruh terhadapa terjadinya konflik tersebut. Disini peran pihak ketiga
sebagai mediator juga mendapat tempat untuk menjadi salah satu poin yang
dianalisis dalam sebuah konflik. Yang terakhir adalah tentang sebab dan dampak
atau konsekuensinya. Pada bagian ini kita akan menganalisa hal-hal apa saja
yang menjadi penyebab dan pemicu terjadinya sebuah konflik serta akibat-akibat
yang terjadi selama konflik tersebut berlangsung.
Hal selanjutnya yang harus
diperhatikan dalam melihat menganalisis sebuah konflik dengan menggunakan
model-model analisa di atas adalah konflik itu dinamis. Konflik bisa dengan
cepat meluas dan bertransformasi menjadi konflik dengan permasalahan dan actor
yang baru, misalnya, hal yang tadinya hanya menjadi pemicu konflik (triggers)
berpotensi untuk menjadi penyebab atau akar konflik (root causes). Pihak-pihak
yang terlibat dalam konflikpun kemudian bisa terus bertambah dengan sikap,
posisi dan kepentingan yang berbeda-beda. Agar dapat lebih jelas dalam melihat
dinamika konflik tersebut berikut kita lihat beberapa contoh konflik di timur
tengah, india-pakistan, konflik Maluku dan konflik di Darfur.
Keempat konflik yang disebutkan
di atas merupakan konflik-konflik yang telah sampai pada tahapan konflik dengan
kekerasan dan telah mengakibatkan jatuhnya begitu banyak korban. Ada beberapa
hal penting yang bisa kita tarik dari keempat konflik di atas. Yang pertama
adalah kesemua konflik di atas berawal disaat wilayah konflik tersebut berada
atau setelah bebas dari kolonialisme. Hal ini bisa kita lihat pada timur tengah
yang pernah dijajah oleh Negara-negara eropa seperti perancis dan inggris,
india dan Pakistan yang begitu lama dibawah control penguasa colonial inggris,
Maluku yang pernah diduduki oleh belanda serta Darfur oleh inggris. Begitu
besarnya perubahan penyebab konflik yang dilakukan oleh para pemerintah
colonial inilah yang kemudiaan diwarisi oleh para penduduk wilayahnya diduduki.
Masih terkait dengan
kolonialisme tetapi kesamaan karakteristik lainnya adalah kesemua konflik yang
disebutkan diatas adalah konflik perebutan wilayah. Hal ini disebabkan oleh
pembagian wilayah yang hamper disemua daerah jajahan adalah bentukan atau di
desain oleh para penjajahnya. Pembagian yang tidak mempertimbangkan kondisi
masyarakat setempat tetapi disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan
penguasa colonial. Hal ini terjadi di timur tengah akibat tidak jelasnya
pembagian wilayah maka dikemudiaan hari menimbulkan konflik. Begitu juga di
Darfur, hasil pembagian daerah yang memberi satu daerah wilayah yang kaya
sumber daya alam kepada salah satu pihak dan daerah yang gersang kepada pihak
yang lain telah berakibat konflik yang berkepanjangan. Sedangkan di Maluku,
ketidakadilan yang didapat oleh salah satu pihak selama kurun waktu tertentu
telah mengakibatkan terjadinya kecemburuan sosial sehingga mempertajam
kontradiksi-kontradiksi yang kemudian berujung konflik.
Di dalam konflik-konflik di
atas, kita juga dapat tangkap bahwa isu-isu identitas seperti agama dan suku
kemudian mengemuka dan bahkan dianggap sebagai salah satu sumber konflik.
Konflik horizontal antara masyarakat Maluku misalnya, agama kemudian menjadi
basis untuk menentukan dan mengidentifikasi seseorang atau kelompok sebagai
musuh atau kawan. Hal yang sama terjadi di india dan Pakistan, konflik antara
kedua Negara tersebut kemudiaan juga diidentifikasi terkait dengan konflik
antara pemeluk agama hindu yang mayoritas di india serta pemeluk agama islam di
Pakistan.
Di timur tengahpun seperti itu,
konflik terbuka dan berdarah di timur tengah kemudiaan diidentikkan dengan
konflik antara agama islam dan agama yahudi atau konflik bernuansa rasial
antara mayoritas negara arab dan Israel. Begitu juga di Darfur, konflik dengan
kekerasan yang telah berlangsung sekian lama di Darfur tersebut dikaitkan
dengan konflik antara suku. Berlapis-lapisnya ekspresi konflik dan begitu
dinamisnya konflik yang terjadi pada masing-masing konflik yang telah
dijelaskan di atas telahmembuat analisa konfliknya semakin rumit dan harus
berhati-hati karena akan sulit untuk memisahkan satu konflik awal dengan
konflik yang lahir akibat dinamika konflik tersebut.