Minggu, 29 April 2012

Tugas 16 . MODEL-MODEL ANALISA KONFLIK


MODEL-MODEL ANALISA KONFLIK

Hampir setiap dari kita pernah mengalami dan terlibat dalam sebuah konflik atau mungkin hanya berada pada posisi sebagai orang yang sekedar menyaksikannya. Interaksi manusia sebagai mahkluk sosial dalam realitasnya selain berupa kerjasama bisa saja berupa konflik. Tulisan ini akan berupaya untuk memberikan gambaran tentang beberapa cara untuk menganalisis sebuah konflik. Ada beberapa model analisa yang akan disajikan, model-model analisa tersebut meliputi model Conflict Triangle, Pohon Konflik, Onion Model, menganalisa Tahapan Konflik, serta model analisa yang diuraikan oleh Paul Wehr. Model-model analisa tersebut akan membantu kita agar dapat mengerti sebuah konflik secara lebih sistematis dan komprehensif. Berikut penjelasan dari model-model analisa tersebut.

Dalam menganalisis sebuah konflik, Johan Galtung memberi penekanan pada aktor, isu dan proses dari konflik tersebut. Galtung menyebutnya conflict triangle, jadi, ketika sebuah konflik terjadi terlebih dahulu kita harus mengidentifikasi siapa saja aktor yang terlibat di dalam konflik tersebut. Adalah penting untuk menganalisa siapa sebenarnya aktor-aktor yang sedang berkonflik agar kita dapat mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang aktor-aktor tersebut karena akan sangat dibutuhkan untuk mengetahui hal-hal yang mempengaruhi aktor sehingga bisa terlibat dalam sebuah konflik.
Setelah mengidentifikasi aktornya, selanjutnya isu dan proses dalam konflik tersebut adalah juga wajib dilakukan sebagai upaya bagi kita untuk mengerti sebuah konflik. Isu maksudnya adalah hal-hal yang menjadi pokok bahasan dalam sebuah konflik, disini kita akan mencari apa sebenarnya dipermasalahkan oleh masing-masing aktor sehingga konflik ini bisa terjadi. Sedangkan proses adalah kita melihat bagaimana tahapan-tahapan sebuah konflik sejak kapan dimulai dan bagaimana proses konflik tersebut secara detail dari tiap tahapannya.
Cara menganalisa konflik selanjutnya adalah dengan menggunakan analogi pohon konflik. Terkadang saat melihat konflik, kita hanya memperhatikan apa yang terjadi atau Nampak dipermukaan, misalnya konflik terbuka dan konflik dengan kekerasan. Yang kita lihat itulah yang kemudiaan jadi bahan pertimbangan kita untuk menyelesaikan konflik tersebut, walhasil penyelesaian konfliknyapun hanya bersifat taktis untuk sekedar menghentikan atau meredakan kekerasan dalam konflik terbuka tersebut.
Meredakan konflik dipermukaan tentunya penting, tetapi tidak akan cukup apabila hanya berhenti disitu, karena manajemen konfliknya belum menyentuh akar konflik. Dalam analogi pohon konflik tersebut, bentuk konflik yang terbuka atau dengan kekerasan dianalogikan sebagai batang dan daun yang tampak atau telah termanifesi. Analogi selanjutnya adalah akar dari pohon konflik dibagi ke dalam dua hal, root causes dan trigger. Root causes adalah penyebab konflik yang laten atau potensial sedangkan trigger disini adalah pemicu atau hal-hal yang membuat konflik tersebut akhirnya meledak menjadi konflik terbuka. Dinamika konflik kemudian membuat penyebab dan pemicu konflik ini bisa berubah dan meluas, trigger kemudian bisa menjadi root causes apabila konflik tersebut telah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama.
Dalam menganalisa sebuah konflik, juga bisa dilakukan dengan menggunakan onion model. Model ini melihat bahwa aktor yang terlibat dalam konflik dapat dilihat dari tiga lapis kulit bawang yang jadi analogi tersebut. Lapis pertama adalah sikap aktor, sikap disini dimaksudkan sebagai ekpresi yang ditunjukkan oleh aktor dalam merespon konflik tersebut. Lapis kedua adalah posisi aktor, maksudnya adalah perspektif aktor dalam konflik ini, disini bisa diketahui pilihan aktor terhadap hal yang benar atau salah dalam konflik tersebut.
Selanjutnya pada Lapis ketiga adalah kepentingan aktor, kepentingan ini berarti hal-hal yang diharapkan oleh aktor yang mungkin berbenturan sehingga terjadilah konflik. Kepentingan ini berada pada lapisan paling dalam juga bisa menjelaskan tentang motivasi dari aktor-aktor yang sedang berkonflik tersebut. Ketiga lapisan tersebut, baik sikap, posisi dan kepentingan tidak bisa begitu saja dijelaskan secara linear bahwa sikap sudah pasti menjelaskan posisi dan posisi sudah pasti representasi dari kepentingan. Karena aktor dapat menunjukkan sikap dan posisi yang berbeda untuk mewujudkan kepentingannya.
Konflik juga dapat kita analisa berdasarkan tahapan-tahapannya, titik awal tahapan konflik berawal dari akar konfliknya atau latent causesnya. Dari sana akan nada beberapa peristiwa yang membuat konflik tersebut mengalami eskalasi sampai kemudiaan berada pada tahapan krisis. Pada tahapan krisis ini sebuah konflik butuh penanganan atau solusi yang yang cepat dan apabila itu tidak ditemukan maka konflik ini akan pecah menjadi konflik terbuka atau konflik dengan kekerasan. Tahapan ini kemudiaan menjadi puncak dari tahapan konflik tersebut. Setelah mencapai puncak, bagaimanapun konflik akan mengalami deeskalasi dan kemudiaan kembali ketahapan awal yang tadi telah dijelaskan. Tahapan-tahapan di atas tidaklah berlangsung dalam durasi yang sama, ada tahapan yang mungkin berlangsung dalam waktu yang singkat atau bahkan sebaliknya, berlangsung dalam kurun waktu yang panjang.
Tahapan konflik di atas memberikan kita penjelasan tentang bagaimana seharusnya konflik di-manage. Karena konflik terbuka merupakan akumulasi dari banyak peristiwa maka apabila ditiap fase konflik itu dikelola dengan baik maka tidak akan sampai pada fase konflik terbuka tau konflik dengan kekerasan. Begitu juga saat konflik terbuka telah terjadi, maka dengan mengerti fase-fase di atas, kita akan mendapat gambaran bagaimana cara untuk mempercepat deeskalasi konflik sehingga dapat kembali pada posisi yang latent.
Analisa konflik selanjutnya adalah model analisa yang ditawarkan oleh Paul Wehr. Wehr berpendapat bahwa konflik dapat dijelaskan dengan melihat tiga hal, yakni konteks, pihak-pihak yang terlibat, serta sebab dan dampak dari konflik tersebut. Konteks konflik bisa dijelaskan sebagai kondisi yang melingkupi terjadinya konflik tersebut, berarti untuk menganalisa konflik kita membutuhkan dan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi dan fakta sejarah yang terkait dengan konflik tersebut.
Berikutnya adalah parties atau pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut. Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik ini bisa diklasifikasikan berdasarkan peran dan keterlibatan mereka dalam sebuah konflik, baik langsung maupun tidak. Disini bisa kita uraikan siapa pihak-pihak yang terlibat langsung dalam sebuah konflik atau siapa pihak yang yang tidak secara langsung terlibat dalam konflik terbuka tetapi berpengaruh terhadapa terjadinya konflik tersebut. Disini peran pihak ketiga sebagai mediator juga mendapat tempat untuk menjadi salah satu poin yang dianalisis dalam sebuah konflik. Yang terakhir adalah tentang sebab dan dampak atau konsekuensinya. Pada bagian ini kita akan menganalisa hal-hal apa saja yang menjadi penyebab dan pemicu terjadinya sebuah konflik serta akibat-akibat yang terjadi selama konflik tersebut berlangsung.
Hal selanjutnya yang harus diperhatikan dalam melihat menganalisis sebuah konflik dengan menggunakan model-model analisa di atas adalah konflik itu dinamis. Konflik bisa dengan cepat meluas dan bertransformasi menjadi konflik dengan permasalahan dan actor yang baru, misalnya, hal yang tadinya hanya menjadi pemicu konflik (triggers) berpotensi untuk menjadi penyebab atau akar konflik (root causes). Pihak-pihak yang terlibat dalam konflikpun kemudian bisa terus bertambah dengan sikap, posisi dan kepentingan yang berbeda-beda. Agar dapat lebih jelas dalam melihat dinamika konflik tersebut berikut kita lihat beberapa contoh konflik di timur tengah, india-pakistan, konflik Maluku dan konflik di Darfur.
Keempat konflik yang disebutkan di atas merupakan konflik-konflik yang telah sampai pada tahapan konflik dengan kekerasan dan telah mengakibatkan jatuhnya begitu banyak korban. Ada beberapa hal penting yang bisa kita tarik dari keempat konflik di atas. Yang pertama adalah kesemua konflik di atas berawal disaat wilayah konflik tersebut berada atau setelah bebas dari kolonialisme. Hal ini bisa kita lihat pada timur tengah yang pernah dijajah oleh Negara-negara eropa seperti perancis dan inggris, india dan Pakistan yang begitu lama dibawah control penguasa colonial inggris, Maluku yang pernah diduduki oleh belanda serta Darfur oleh inggris. Begitu besarnya perubahan penyebab konflik yang dilakukan oleh para pemerintah colonial inilah yang kemudiaan diwarisi oleh para penduduk wilayahnya diduduki.
Masih terkait dengan kolonialisme tetapi kesamaan karakteristik lainnya adalah kesemua konflik yang disebutkan diatas adalah konflik perebutan wilayah. Hal ini disebabkan oleh pembagian wilayah yang hamper disemua daerah jajahan adalah bentukan atau di desain oleh para penjajahnya. Pembagian yang tidak mempertimbangkan kondisi masyarakat setempat tetapi disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan penguasa colonial. Hal ini terjadi di timur tengah akibat tidak jelasnya pembagian wilayah maka dikemudiaan hari menimbulkan konflik. Begitu juga di Darfur, hasil pembagian daerah yang memberi satu daerah wilayah yang kaya sumber daya alam kepada salah satu pihak dan daerah yang gersang kepada pihak yang lain telah berakibat konflik yang berkepanjangan. Sedangkan di Maluku, ketidakadilan yang didapat oleh salah satu pihak selama kurun waktu tertentu telah mengakibatkan terjadinya kecemburuan sosial sehingga mempertajam kontradiksi-kontradiksi yang kemudian berujung konflik.
Di dalam konflik-konflik di atas, kita juga dapat tangkap bahwa isu-isu identitas seperti agama dan suku kemudian mengemuka dan bahkan dianggap sebagai salah satu sumber konflik. Konflik horizontal antara masyarakat Maluku misalnya, agama kemudian menjadi basis untuk menentukan dan mengidentifikasi seseorang atau kelompok sebagai musuh atau kawan. Hal yang sama terjadi di india dan Pakistan, konflik antara kedua Negara tersebut kemudiaan juga diidentifikasi terkait dengan konflik antara pemeluk agama hindu yang mayoritas di india serta pemeluk agama islam di Pakistan.
Di timur tengahpun seperti itu, konflik terbuka dan berdarah di timur tengah kemudiaan diidentikkan dengan konflik antara agama islam dan agama yahudi atau konflik bernuansa rasial antara mayoritas negara arab dan Israel. Begitu juga di Darfur, konflik dengan kekerasan yang telah berlangsung sekian lama di Darfur tersebut dikaitkan dengan konflik antara suku. Berlapis-lapisnya ekspresi konflik dan begitu dinamisnya konflik yang terjadi pada masing-masing konflik yang telah dijelaskan di atas telahmembuat analisa konfliknya semakin rumit dan harus berhati-hati karena akan sulit untuk memisahkan satu konflik awal dengan konflik yang lahir akibat dinamika konflik tersebut.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar