PENYELESAIAN SENGKETA TANAH
MELALUI MEDIASI
Di bidang pertanahan, belum ada suatu peraturan perundang
– undangan yang secara eksplisit memberikan dasar hukum penerapan Alternatif
Dispute Resolution (ADR)
Namun, hal ini
tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak menggunakan lembaga ADR di bidang
pertanahan berdasarkan 2 (dua) alasan,
yaitu :Pertama,
di dalam setiap sengketa perdata yang diajukan di muka pengadilan, hakim selalu
mengusulkan untuk penyelesaian secara damai oleh para pihak (Pasal 130 HIR).
Kedua,
secara eksplisit cara penyelesaian masalah berkenaan dengan bentuk dan besarnya
ganti kerugian dalam kegiatan pengadaan tanah diupayakan melalui jalur
musyawarah.
Keputusan
Presiden Nomor 55 tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum, (“Keppres No.53 tahun 1993”) dan Peraturan
Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 1994
yang merupakan peraturan pelaksanaan Keppres No. 55 tahun 1993, mengatur
tentang tata cara melakukan musyawarah secara cukup terinci.
Dalam
perkembangannya, hal ini dimuat dalam Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005
tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum
(“Perpres No. 36 tahun 2005”) yang diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65
tahun 2006 yang telah dilengkapi dengan Peraturan Kepala BPN Nomor 3 tahun
2007. Dengan berlakunya Perpres No. 36 tahun 2005, maka Keppres No. 55 tahun
1993 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dengan
berjalannya waktu, penyelesaian sengketa melalui ADR secara implisit dimuat
dalam Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional
(“BPN”). Dalam struktur organisasi BPN dibentuk 1 (satu) kedeputian, yakni
Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan
(“Deputi”). BPN telah pula menerbitkan Petunjuk Teknis Penanganan dan
Penyelesaian Masalah Pertanahan melalui Keputusan Kepala BPN RI Nomor 34 tahun
2007. Dalam menjalankan tugasnya menangani sengketa pertanahan, BPN melakukan
upaya melalui mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa alternatif.
Pembentukan
Deputi tersebut menyiratkan 2 (dua) hal, yaitu pertama, bahwa penyelesaian
berbagai konflik dan sengketa pertanahan itu sudah merupakan hal yang sangat
mendesak sehingga diupayakan membentuk kedeputian untuk penanganannya. Kedua,
terdapat keyakinan bahwa tidak semua sengketa harus diselesaikan melalui
pengadilan.
Sumber
: Mediasi Sengketa Tanah Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian sengketa
(ADR) Di Bidang Pertanahan.
Penulis
: Prof. Dr. Maria S.W Sumardjono, S.H., MCL., MPA.
Penerbit
: Penerbit Buku Kompas, 2008.MIw9Bh
(mediasi sengketa tanah)
Sebagai
hak dasar, hak atas tanah sangat berarti sebagai tanda eksistensi, kebebasan,
dan harkat diri seseorang. Di sisi lain, negara wajib memberi jaminan kepastian
hukum terhadap hak atas tanah itu walaupun hak itu tidak bersifat mutlak karena
dibatasi oleh kepentingan orang lain, masyarakat dan negara.
Dalam
kenyataan sehari-hari permasalahan tanah muncul dan dialami oleh seluruh
lapisan masyarakat. Sengketa pertanahan merupakan isu yang selalu muncul dan
selalu aktual dari masa ke masa, seiring dengan bertambahnya penduduk,
perkembangan pembangunan, dan semakin meluasnya akses berbagai pihak untuk
memperoleh tanah sebagai modal dasar dalam berbagai kepentingan.
Dapat
dikatakan sengketa di bidang pertanahan tidak pernah surut, bahkan mempunyai
kecenderungan untuk meningkat di dalam kompleksitas permasalahan maupun
kuantitasnya seiring dinamika di bidang ekonomi, sosial dan politik.
Selain
penyelesaian sengketa melalui pengadilan/litigasi, di dalam sistem hukum
nasional dikenal penyelesaian sengketa melalui lembaga di luar peradilan
sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternaif Penyelesaian Sengketa.
Salah satu
alternatif penyelesaian sengketa (tanah) adalah melalui upaya mediasi. Mediasi
sebagai penyelesaian sengketa alternatif menawarkan cara penyelesaian sengketa
yang khas. Karena prosesnya relatif sederhana, maka waktunya singkat dan biaya
dapat ditekan.
Tipologi Sengketa
Menurut Coser, seperti dikutip Maria SW. Sumardjono (2008),“Conflicts involve struggles
between two or more people over values, or competition for status, power, or
scare resources.” Jika
konflik tersebut telah nyata (manifest) maka hal tersebut disebut sengketa.
Tipologi
kasus-kasus di bidang pertanahan secara garis besar dapat dipilah menjadi lima
kelompok, yaitu
a).Kasus-kasus
berkenaan dengan penggarapan rakyat atas tanah-tanah perkebunan, kehutanan, dan
lain-lain,
b).Kasus-kasus berkenaan dengan pelanggaran peraturan landreform,
c).Kasus-kasus
berkenaan dengan ekses-ekses penyediaan tanah untuk pembangunan,
d).Sengketa
perdata berkenaan dengan masalah tanah;
e).Sengketa
berkenaan dengan tanah ulayat.
Menurut
Rusmadi Murad (1991), sifat permasalahan dari suatu sengketa tanah secara umum
ada beberapa macam, yaitu a).Masalah yang menyangkut prioritas untuk dapat
ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak; atau
atas tanah yang belum ada haknya.
b).
Bantahan terhadap suatu alas hak / bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar
pemberian hak,
c).Kekeliruan/kesalahan
pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang tidak benar, d).
Sengketa lain yang mengandung aspek-aspek sosial praktis.
Dalam
konteks tipologi, BPN membagi sengketa pertanahan dibagi menjadi
sengketa penguasaan dan pemilikan, sengketa prosedur penetapan dan pendaftaran
tanah, sengketa batas/letak bidang tanah, sengketa ganti rugi eks tanah
partikelir, sengketa tanah ulayat, sengketa tanah obyek landreform, sengketa
pengadaan tanah, dan sengketa pelaksanaan putusan.
Mediasi
Mediasi pada intinya adalah “a process of negotiations
facilitated by a third person who assist disputens to pursue a mutually
agreeable settlement of their conlict.” Sebagai suatu cara penyelesaian sengketa
alternatif, mediasi mempunyai ciri-ciri yakni waktunya singkat, terstruktur,
berorientasi kepada tugas, dan merupakan cara intervensi yang melibatkan peras
serta para pihak secara aktif. Keberhasilan mediasi ditentukan itikad baik
kedua belah pihak untuk bersama-sama menemukan jalan keluar yang disepakati.
Aria S. Hutagalung (2005) menegaskan mediasi memberikan kepada
para pihak perasaan kesamaan kedudukan dan upaya penentuan hasil akhir
perundingan dicapai menurut kesepakatan bersama tanpa tekanan atau paksaan.
Dengan demikian, solusi yang dihasilkan mengarah kepada win-win solution. Upaya
untuk mencapai win-win solution ditentukan oleh beberapa faktor di antaranya
proses pendekatan yang obyektif terhadap sumber sengketa lebih dapat diterima
oleh pihak-pihak dan memberikan hasil yang saling menguntungkan dengan catatan
bahwa pendekatan itu harus menitikberatkan pada kepentingan yang menjadi sumber
konflik.
Selain
itu, faktor kemampuan yang seimbang dalam proses negosiasi atau musyawarah.
Perbedaan kemampuan tawar menawar akan menyebabkan adanya penekanan oleh pihak
yang satu terhadap yang lainnya.
Pilihan
penyelesaian sengketa melalui mediasi mempunyai kelebihan dari segi biaya,
waktu, dan pikiran bila dibandingkan dengan berperkara di muka pengadilan, di
samping itu kurangnya kepercayaan atas kemandirian lembaga peradilan dan
kendala administratif yang melingkupinya membuat lembaga pengadilan merupakan
pilihan terakhir untuk penyelesaian sengketa.
Maria SW.Sumardjono (2005) menyatakan segi positif mediasi
sekaligus dapat menjadi segi negatif, dalam arti keberhasilan mediasi semata-mata
tergantung pada itikad baik para pihak untuk menaati kesepakatan bersama
tersebut karena hasil akhir mediasi tidak dapat dimintakan penguatan kepada
pengadilan. Supaya
kesepakatan dapat dilaksanakan (final and binding) seyogyanya para pihak mencantumkan kesepakatan
tersebut dalam bentuk perjanjian tertulis yang tunduk pada prinsip-prinsip umum
perjanjian.
Menurut
pengalaman di Amerika Serikat, Inggris, dan Australia pada umumnya mediasi
lebih sesuai untuk diterapkan dalam kasus-kasus yang menyangkut kelangsungan
hubungan antara para pihak, keseimbagan kekuatan antara kedua belah pihak,
sengketa yang berjangka waktu singkat, atau sengketa yang tidak pasti hasil
akhirnya bila dibawa ke pengadilan.
Untuk Indonesia, kasus-kasus yang lebih sesuai untuk
diselesaikan melalui mediasi adalah kasus-kasus yang segi hukumnya kurang
mengemuka dibandingkan dengan segi kepentingan (interest) para pihak.
Dalam perkembangannya, penyelesaian sengketa melalui ADR secara
implisit dimuat dalam Perpres No.10 Tahun 2006 tentang BPN. Selanjutnya telah
diterbitkan Keputusan Kepala BPN No.34/2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan
dan Penyelesaian Masalah Pertanahan. Dalam menjalankan tugasnya menangani
sengketa pertanahan, BPN melakukan upaya antara lain melalui mediasi.
Mengingat
bahwa pada masa yang akan datang lebih banyak lagi diperlukan cara-cara
penyelesaian sengketa di luar pengadilan, maka dalam rangka pemikiran ke arah
realisasi lembaga mediasi, khususnya dalam sengketa pertanahan, perlu
persiapkan beberapa hal yakni penyiapan sumber daya manusianya (mediator),
pelatihan jangka waktu serta fasilitatornya, dan adanya suatu badan yang
berwenang untuk memberi pelatihan dan sertifikat bagi mediator.
Mengingat
bahwa bangsa Indonesia terkenal dengan penyelesaian masalah melalui musyawarah
untuk mencapai mufakat, kiranya pemanfaatan lembaga mediasi dapat merupakan
alternatif yang berdampak positif untuk penyelesaian sengketa pertanahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar